Senin, 14 November 2011

Salah Status Ngejomblo

Berita Indonesia - Tamu-tamu yang datang semakin banyak. Gedung ini mulai sesak, dipenuhi oleh kerabat dan teman-teman Muizzul dan Hanni, teman sekantor Yahya yang sedang berbahagia memasuki kehidupan baru mereka sebagai pasangan suami istri. Yahya mengisi piringnya dengan nasi putih, capcay, filet kakap asam manis, dan sepotong ayam goreng kecap. Ia juga menyisihkan semangkuk kecil berisi sup asparagus di pinggir piringnya. Yahya mengambil segelas air mineral dan sedotannya lalu bergegas menyingkir ke samping gedung. Duduk di kursi plastik di samping gedung resepsi, ia menikmati makanannya. Bismillahirrahmaanirrahiim, Allahumma baariklana fiimaa rozaqtanaa wa qinaa adzaabannaar, Yahya menyuapkan sendok pertama ke dalam mulutnya.

Di dalam gedung resepsi, teman-temannya masih bergerombol, menikmati hidangan sambil mengobrol ke sana ke mari. Yahya sengaja menyendiri. Ia risih karena terus digoda teman-temannya. Ia sedang malas meladeni keisengan teman-temannya yang selalu habis-habisan meledeknya setiap kali mereka menghadiri pernikahan seorang teman. Maklum, di kantornya, hanya Yahya yang masih betah melajang. Sebenarnya bukan betah tetapi sampai usianya melewati angka 31 bulan lalu, ia belum menemukan gadis yang memenuhi kriterianya dan bersedia menjadi istrinya. Padahal ia ingin menikah di usia muda. Yahya bukan tidak berusaha. Ia sudah meminta tolong beberapa kerabat dan temannya untuk mencarikannya jodoh. Ia malah mendaftar pada lebih dari satu biro jodoh agar segera menemukan jodohnya. Hanya saja, usahanya belum membuahkan hasil. Memang pernah ada gadis yang berusaha menarik perhatiannya, tapi Yahya tidak serius menanggapinya. Ia ingin memiliki istri yang sholihah, dewasa, rajin beribadah, feminim, dan menutup aurat. Bukan gadis remaja yang lebih suka mempercantik penampilannya daripada kualitas akhlak dan agamanya. Sayangnya, teman-teman Yahya seperti tidak bersimpati pada kondisinya. Mereka tak bosan meledek Yahya karena urusan yang satu ini. Sebagian memanggilnya Angka Satu, sebagian lagi menjulikinya Jomblo Sejati. Tak jarang pula, mereka sahut-menyahut bercerita tentang keharmonisan rumah tangga, tingkah lucu anak-anak, dan indahnya bulan madu kedua mereka. Tidak tahukah mereka, kalau semua itu membuatnya nelangsa? Yahya hanya mengelus dada, mencoba bersabar atas tingkah teman-teman sekantornya. Kesabarannya benar-benar sedang diuji.

“Hei, di sini rupanya!”

Yahya urung memasukkan sendok terakhir berisi potongan ayam kecap ke mulutnya. Husni, yang tiba-tiba saja sudah berdiri di dekatnya, membuatnya terkejut.

“Bikin kaget saja, Hus!” protesnya.
“Aduh Angka Satu ini memang paling hobi sendirian. Dicari ke mana-mana malah menyepi di sini.”
“Belum bosan juga memanggil aku Angka Satu, Hus!”
“Ha…ha…ha…, Sorry, Bro , bercanda! Makanya cepat-cepat kawin biar jadi Angka Sebelas.”
Yahya meninju lengan Husni. Bapak satu anak itu hanya meringis, pura-pura kesakitan.
“Ini aku ambilkan sepasang kembang melati dari pengantin, supaya kamu cepat ketularan. Khusus aku curi diam-diam dari keris Muizzul dan hiasan rambut Hanni untuk kamu Ya.”
“Astaghfirullah, Hus. Nggak ada hubungannya kembang melati pengantin dengan jodoh. Apalagi dari hasil mencuri, malah jadi dosa.”
“Kalau diminta terang-terangan nggak mempan, Ya. Aku ingin menolong kamu, biar cepat kawin.”
“Caranya yang baik dong, Hus, masa mencuri?”
“Alah, Ya, cuma mencuri melati, bukan merampok bank.”
“Yang namanya mencuri walaupun kecil nilainya tetap saja berdosa, Hus. Kalau mau bantu aku lebih baik carikan aku wanita sholihah bukan kembang-kembang seperti ini.”
“Sudah kamu nurut saja, Ya. Simpan melati ini di kamarmu, mudah-mudahan jodohmu segera datang,” perintah Husni sambil memasukkan bunga melati itu ke dalam saku kemeja batik Yahya.

Yahya menggelengkan kepala. Zaman sudah moderen, teknologi semakin canggih, tapi masih ada saja orang-orang yang percaya dengan hal-hal seperti ini. Setan memang menggunakan segala cara untuk menggiring manusia ke dalam kemusryikan. Diam-diam Yahya memasukkan kembang melati itu ke dalam gelas plastik bekas minumannya lalu membuangnya ke tempat sampah.

Yahya langsung men-starter motornya begitu rombongannya tiba di kantor. Jarum jam menunjukkan pukul tujuh lewat tiga puluh malam. Jalan Pemuda dipadati mobil-mobil dan sepeda motor yang hendak melewati jantung kota Surabaya. Yahya membelokkan motornya ke kanan ke belakang Plaza Surabaya, mengambil jalan ke arah Gubeng dan terus melaju ke daerah Bratang. Sampai di rumah kosnya, Yahya bergegas mandi. Guyuran air keran menyegarkan tubuhnya yang terasa penat setelah seharian berkutat dengan angka-angka di kolom-kolom lembaran Excel-nya. Usai sholat Isya’, ia membaringkan tubuhnya di kasur sambil mendengarkan lantunan ayat-ayat suci Al-Qur’an yang ia putar dengan DVD player-nya.

“Assalamu alaikum.”

Mirza, penghuni kamar sebelah yang juga teman kuliahnya dulu, muncul di depan pintu kamarnya.

“Waailakum salam.”

Yahya bangun dari kasurnya yang digelar di atas karpet kamarnya. Sudah lama ia tidak menggunakan dipan supaya kamarnya lebih lapang. Mirza langsung duduk di sebelahnya.

“Pulang telat lagi, Ya? Tumben tengah bulan lembur, lagi banyak kerjaan?”
“Nggak, Za, tadi ke undangan dulu, ada teman menikah. Kita berangkat rame-rame dari kantor.”
“Oh, ya? Temanmu yang mana?”
“Muizzul, yang tempo hari pernah main ke sini. Istrinya teman sekantor juga.”
“Oh…itu. Ngomong-ngomong soal menikah. Ini undanganku sudah jadi. Aku sudah nunggu kamu dari tadi untuk memberikan undangan ini.”
“Bukannya masih bulan depan, Za, kok undangannya sudah jadi?” tanya Yahya sambil menerima undangan berwarna biru yang diberikan Mirza.
“Keluarga Hanifah meminta pernikahan kami dipercepat. Aku setuju saja, hal yang baik semestinya memang disegerakan.”
“Astaghfirullah Za, tega benar kamu! Temanmu sedang merana memikirkan jodoh, kamu malah mempercepat pernikahanmu.”

Yahya memukul Mirza dengan guling. Mirza terpingkal-pingkal melihat raut muka Yahya yang memelas.

“Sorry, Friend. Kita memang sahabat, tapi untuk menikah aku nggak bisa menunggu. Aku ingin segera meraih separuh agamaku. Ladang pahala sudah dibuka lebar, buat apa menunda-nunda lagi.”
“Za…Za…kalau kamu menikah bulan depan, aku masih punya waktu untuk mencari jodoh. Dan aku juga bisa menikah segera setelah kamu menikah atau malah kita menikah bersamaan. Lha kalau pernikahanmu dimajukan sepuluh hari lagi, kemana aku mau cari jodoh, Za? Bisa-bisa gang Lima Jejaka nggak jadi bubar karena anggotanya masih ada satu. Aku, Za. Sungguh teganya!”

Mirza tergelak lagi. Muka Yahya semakin masam. Nasibnya di ujung tanduk. Bisa dipastikan kalau gang Lima Jejaka tidak jadi bubar. Setelah Mirza mengucapkan ijab qabul, dirinya akan menjadi satu-satunya anggota gang Lima Jejaka yang dulu ia bentuk bersama Mirza, Iwan, Firdaus, dan Yusuf sejak mereka pertama kali bertemu di rumah kos ini. Iwan paling dulu menikah dan sekarang sudah punya dua anak. Firdaus menikah tahun lalu dan pindah ke Jakarta mengikuti istrinya. Sedangkan Yusuf baru menikah tiga bulan lalu. Setelah itu ia sibuk mengurusi restoran masakan Padang bersama istrinya. Walaupun demikian, mereka masih bertemu sebulan atau dua bulan sekali di rumah kos ini kecuali Firdaus karena tempat tinggalnya yang jauh. Dengan begitu hubungan persaudaran mereka tetap terjaga. Selain untuk bersilaturrahmi, agenda utama pertemuan mereka adalah membantu mencarikan jodoh bagi anggota yang masih jomblo. Hasilnya, Mirza ketemu jodohnya atas bantuan Iwan. Hanifah, calon istri Mirza adalah teman dekat Syifa, istri Iwan. Mirza memutuskan menikah setelah dua bulan Iwan dan Syifa memperkenalkannya pada Hanifah dan keluarganya. Hanya Yahya saja yang belum mendapatkan jodohnya. Usaha perjodohannya selalu mental pada tahap pertukaran data, tidak pernah masuk ke proses taaruf dan tatap muka. Yahya tidak tahu apa yang kurang dari dirinya. Wajahnya ganteng, tak kalah dengan artis yang jadi idola gadis-gadis muda. Setiap menyetorkan data ke biro jodoh, ia selalu memilih foto terbarunya yang paling keren. Pekerjaan cukup mapan, chief accounting officer sebuah perusahaan operator seluler dengan gaji yang lumayan besar. Ia pun sudah berencana untuk membeli rumah begitu ia menikah. Uang muka untuk membeli mobil bekas juga sudah ia siapkan. Dari segi agama, moral, dan akhlak, ia terus belajar dari majelis-majelis pengajian dan buku-buku agama. Shalat malam, dhuha, doa, dan shadaqah pun terus ia laksanakan. Namun, kenapa nasibnya tak seberuntung teman-temannya yang lain? Yahya mencoba introspeksi diri. Ia tak enak hati pada teman-temannya yang ikut repot memikirkan jodohnya. Sampai-sampai hasil rapat anggota Lima Jejaka bulan lalu adalah mengharuskan semua anggota untuk lebih menggiatkan usaha demi membantunya mencari jodoh.

“Kamu terlalu pemilih kali, Ya? Biro jodoh Madinah gimana, belum ada kabar?”
“Belum. Gimana mau milih, Za? Wawancara dengan biro jodoh saja aku nggak pernah. Baru tukar biodata saja sudah nggak ada kelanjutannya.”
“Atau fotomu kurang keren?”
“Alah, Za. Sudah mirip Shahrukh Khan begini, kurang keren gimana lagi! Kriteria juga sudah aku turunkan dari gadis jadi janda tanpa anak. Kurang apa lagi coba?”

Mirza tertawa lagi, kali ini malah terpingkal-pingkal. Yahya menimpukinya dengan guling.

“Aduh…, stop-stop! Jangan ada kekerasan di dalam kamar kos!” teriaknya lalu duduk bersila di depan Yahya.
“Coba mana biodatamu, biar aku titipkan Hanifah. Siapa tahu ada teman atau kerabatnya yang bersedia dikenalkan padamu.”
“Malas, ah!”
“He…, nggak boleh cepat putus asa gitu, dong. Mau nikah nggak, atau masih sayang melepas status jejaka?” ledek Mirza lagi.
“Sekali lagi kamu meledek, aku pukul beneran kamu, Za!” kali ini Yahya memasang tampang galak.
“Serius…serius. Beneran aku minta tolong Hanifah.”

Yahya bangkit, mengambil map berisi dokumen-dokumen pribadi dari lemarinya. Ia mengeluarkan daftar riwayat hidupnya, memilih foto yang paling bagus dan mengambil KTP dari dompetnya. Lalu ia menyerahkannya pada Mirza.
“Sampaikan pada Hanifah, ini emerjensi. Begitu ada gadis yang kriterianya cocok, kabari aku. Yang penting sholihah, menutup aurat. Pendidikan SMA nggak masalah, asal pandai mengaji. Pekerjaan kalau bisa guru, kalau nggak ya terserah yang penting halal. Kalau nggak ada gadis, janda tanpa anak juga mau asal agamanya bagus.”

“Kalau orang luar Jawa gimana, Ya?”
“Nggak masalah, asal mau mengikuti aku pindah ke sini. Sebaik-baik tempat bagi seorang istri adalah di sisi suaminya.”
“Oke.”

Yahya hanya mengamati Mirza yang sedang membaca dan meneliti berkas-berkas biodatanya. Dalam hatinya terbersit harap agar Allah meridhoi usaha sahabatnya kali ini. Ia benar-benar sudah ingin menikah. Selain untuk menyempurnakan agamanya, ia juga ingin membahagiakan kedua orangtuanya yang sudah beranjak sepuh. Dimana-mana harapan orangtua sama, segera menimang cucu dari anak-anaknya. Memang bapak dan emaknya sudah memiliki dua cucu dari kakak perempuannya. Namun, mereka sangat berharap agar Yahya segera menikah dan menambah jumlah cucu mereka. Tiba-tiba Mirza memandang ke arahnya. Tangannya memegang KTP-nya. Mulut Mirza manyun ke depan. Lesung pipit di kedua belah pipinya bergerak-gerak. Yahya yakin sebentar lagi tawa segera meledak dari mulutnya.

“Ada apa?” tanyanya.
Benar saja, Mirza terpingkal-pingkal sambil mengacung-ngacungkan KTP-nya. Yahya merebut KTP di tangan Mirza dan mengamatinya. Tak ada yang aneh, tapi kenapa Mirza tertawa?

“Kenapa KTP-ku, fotonya kurang keren?”

Mirza tak menjawab. Tawanya kian meledak. Ia terawa terpingkal-pingkal sampai membungkuk-bungkuk memeluk guling. Dan walaupun terbatuk-batuk, ia masih melanjutkan tawanya.

“Ya…Ya…kocak kamu, terang saja nggak ada yang mau sama kamu,” katanya beberapa saat setelah tawanya reda.
“Memang kenapa?”
“Lihat tuh status KTP-mu. Mana ada gadis yang mau menikah dengan orang yang sudah kawin? Kecuali kalau mereka ingin jadi istri kedua. Meskipun poligami dihalalkan, masih banyak yang keberatan jadi istri kedua, Ya!”
“Astaghfirullahaladziim…!”

Yahya mengelus dada begitu meneliti KTP-nya. Di KTP-nya status perkawinannya tertulis jelas: KAWIN. Parahnya, ia sama sekali tidak menyadari kalau KTP-nya salah status. Sungguh ironis, Yahya yang biasanya sangat teliti dengan angka-angka laporan keuangan malah lalai dengan hal kecil tapi penting seperti ini. Ia memang memasrahkan saja urusan perpanjangan KTP-nya pada bapaknya. Ia hanya mengirimkan fotonya saja dan setelah KTP-nya jadi, Yahya tidak menelitinya lagi. Ia yakin bapaknya juga tidak memeriksa KTP-nya. Bisa jadi kesalahan status KTP inilah yang menghambat jodohnya. Melihat wajah Yahya memelas, tawa Mirza semakin menjadi. Yahya menahan diri agar tidak ikut tertawa karena terbawa suasana. Ia memalingkan muka dan mengambil ponselnya di dekat bantal. Yahya menelpon atasannya, meminta izin untuk libur sehari besok. Besok ia akan pulang ke Trenggalek untuk merevisi status perkawinan di KTP-nya. Ini lebih darurat dari urusan apa pun dan harus diprioritaskan, tidak boleh ditunda lagi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar